Wednesday, February 10, 2016

Persekongkolan Hujan

 Author: FEERDAHH

Tidak ada yang bisa memisahkan kedekatan antara diriku dengan buku. Buku selalu membuatku penasaran, membuatku berada di dunia yang lain, membuatku merasakan sensasi yang berbeda di tiap lembarnya, dan pastinya membawaku untuk beranjak dari dunia nyata barang sejenak. Kadang aku berpikir, tidaklah perlu aku kemana-mana, hanya duduk di posisi ternyaman dan mencurahkan seluruh perhatian pada buku di tanganku. Konyol memang.
Hal yang paling ku senangi kedua, yang pastinya tidak jauh dari buku, yaitu saat membeli buku itu sendiri. Saat dimana aku memilah dan memilih satu di antara yang lain, mencoba menjadi seorang peramal untuk bisa menentukan buku mana yang sebaiknya ku beli. Terus terang saja, agak merepotkan memang saat harus memilih satu buku saja—aku hanya diberi kesempatan membeli satu buku selama sebulan---dari sekian banyak buku yang menggiurkan. Harus benar-benar cermat dan lapang dada untuk melepaskan buku-buku yang tidak jadi ku beli.
Ya, seperti itulah yang sekarang sedang ku alami. Berada di antara buku-buku yang seperti meminta untuk dibeli. Aku harus bisa menjadi cukup bijaksana untuk menolak mereka, dengan menemukan satu buku yang sekiranya merebut perhatianku.
Aku menari di antara rak-rak, mencomot sembarang buku, membaca sinopsis, berpikir sejenak, lalu mengembalikan buku itu kembali ke rak. Perasaan senang dikelilingi buku ini membuatku sangat bergairah!

Sambil mendendangkan sebuah instrumen lagu klasik, aku kembali mencari-cari. Mengamati rak demi rak, menelusuri sinopsis, dan melonjak-lonjak seperti anak umur lima tahun jika berada di toko mainan.
Lonjak. Lonjak. Lonjak.
Kemudian bergeming.
Aku menemukannya. Menemukan buku yang menarik perhatianku. Buku dengan sampul biru berkabut yang tertulis singkat, jelas, dan penuh makna: Hujan. Ku ambil buku itu dengan khidmat, layaknya menemukan harta karun terpendam. Perasaan membuncah yang ku rasakan membuatku yakin bahwa buku ini cukup menarik dan bisa menambah wawasanku tentang musim, mungkin dengan buku ini aku bisa mencintai hujan, walaupun pastinya tidak mungkin hujan menggantikan kesenanganku dengan buku.
Sebelum menuju kasir, ku sempatkan untuk menundukkan kepala ke arah rak-rak buku yang berjejer, seakan meminta maaf dan berpamitan. “Buku merupakan guru kita semua. Tidak ada salahnya kalau kita juga harus menghormati buku, bukan?” begitulah jawabanku ketika ada teman yang menanyakan kebiasaan aneh tersebut. Tentu saja mereka tidak bisa menerima alasanku, mereka tidak mencintai buku sebagaimana yang aku rasakan. Tentu saja mereka sedikit mencemooh perbuatanku, tidak heran, mereka tidak tumbuh dan berkembang bersama buku, tidak seperti aku.
Kasir toko buku menyambutku ramah, entah karena mood nya sedang baik atau memang begitulah kepribadiannya.
“Hujan. Mbak terinspirasi dari hujan di luar, ya?” ujar lelaki di kasir tersebut sambil mengendikkan dagunya ke arah hujan di luar sana. Ku berikan respon kerjapan mata. Aku tidak menyangka bahwa keadaan hujan di luar sana sudah menderas, yang menandakan bahwa hujan itu telah lama tiba. Bukan masalah jika memang aku harus menerobos seorang diri, tapi buku baruku tidak akan ku ijinkan untuk ikut serta.
Setelah selesai dengan urusan pembayaran dan sampul menyampul, aku melangkah perlahan melewati pintu. Hujan ini berkabut dan berangin, yang bahkan membuatku sulit melihat jalanan barang lima meter dari tempatku berdiri sekarang.
Tidak, tidak. Mustahil jika aku nekat berlari pulang.
Mataku berusaha mencari jalan keluar dengan memandang sekeliling, berusaha memfokuskan hal-hal di sekitar, yang kemudian berhenti di sebuah cafe. Ya, toko buku ini memiliki cafe yang terletak persis di samping. Hanya butuh satu lompatan kecil untuk bisa masuk di pelataran cafe itu dan tidak akan ada air yang bisa mengenai tubuhmu, kecuali tentu saja jika atap cafe itu bocor atau terjadi banjir.
Segera ku langkahkan kaki ini memasuki cafe dan mendapati orang-orang di dalamnya melakukan berbagai macam kesibukan, antara lain seperti main laptop, bercanda ria dengan teman-teman, berpeluk-pelukan atas dasar status pacaran, dan membaca buku. Kegiatan terakhir sangat jarang, apalagi yang memang duduk dan tepekur dengan buku. Mungkin bisa dibilang bahwa aku orang kedua yang melakukan hal itu, atau setidaknya akan melakukan itu.
Orang pertama yang lebih dulu fokus dengan bacaannya merupakan seorang pria yang duduk di meja seberangku. Orang itu duduk menghadap ke arahku, seorang diri, dengan cangkir kopi di hadapannya. Penuh rasa penasaran, aku duduk menghadap ke arahnya agar bisa melihat buku yang sedang dibaca.
Suatu buku tentang filsafat. Aku tidak begitu paham. Buku yang agaknya terasa asing bagiku, yang lebih menyukai buku-buku penuh pengharapan, kehidupan, dan masa depan. Bukannya aku tidak tertarik dengan buku semacam itu, tapi buku-buku itu memberikan sinopsis menyedihkan, membuatku ikut sedih membacanya. Entahlah, mungkin pernyataanku barusan merupakan bagian dari stereotype.
Aku mengangkat bahu, tidak ambil pusing dengan stereotype. Yang sangat ingin ku lakukan sekarang hanyalah membaca buku baruku. Ku buka lembar pertama buku itu, sekilas ku kagumi ekstrinsik buku dan mulai membaca prolog.
Lembar demi lembar ku lewati, dengan berbagai macam ekspresi yang ku tunjukkan saat larut ke kisah di dalamnya. Jemariku siap untuk membuka bab ketiga, ketika kemudian terantuk oleh sesuatu yang hangat di mejaku. Fokusku teralihkan dan mendapati bahwa minuman pesananku telah tiba, entah kapan. Ku lirik jam yang menunjukkan telah lewat 20 menit aku membaca, tapi keadaan hujan di luar cafe masih sama seperti sebelum aku memasuki cafe ini.
Aku menghembuskan napas lalu menutup buku. Mengalihkan fokus pada hot chocolate di hadapanku yang sekiranya bisa menghangatkan tubuh yang ternyata mulai menggigil. Coklatnya kental dan manisnya pas, tidak terlalu manis yang menyebabkan pahit coklatnya masih melekat dengan khas. Menyecap rasa itu membuat bibirku otomatis tersenyum dan menghirup aroma coklat dengan lebih dalam.
Ku tatap seluruh isi ruangan perlahan sambil menikmati sensasi hangat yang menjalar di sekujur tubuh karena minuman ini. Aku kembali menghirup coklatku lalu mengalihkan pandangan menuju meja di hadapanku. Pemandangan yang ku temui cukup membuatku sedikit tersedak. Pria di meja seberang menatapku dengan intens, dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. Senyum itu semakin lebar saat mendapati bahwa aku memandangnya dengan penuh tanda tanya.
“Kopi?” tanya pria itu dengan tampang tidak berdosa. Seakan-akan berbicara dengan orang asing merupakan hal biasa baginya.
“Coklat.” aku menjawabnya dengan senyum setengah yang masih diliputi perasaan bingung. Bagaimana tidak? Pria itu mengajaknya berbicara seolah-olah jarak mereka cukup dekat untuk berbincang, bukannya dibatasi oleh meja. Aku sangat canggung, tidak mengharapkan kejadian ini terjadi di dunia nyata—kalau di buku-buku yang mengisahkan kehidupan di luar negeri sih sering—terjadi padaku. Berpura-pura mengecek ponsel merupakan akibat dari kecanggunganku. Aku tidak tahu harus bagaimana, ku putuskan untuk membalas pesan-pesan pribadi dan pesan di grup sosial media, menjadikan kegiatan itu menjadi hal yang cukup penting hingga membutuhkan fokus yang berlebihan dariku.
Aku menengadahkan kepala untuk mengecek hujan, berpura-pura untuk merasa cemas karena hujan tidak kunjung reda. Yah, sebenarnya tidak terlalu berpura-pura karena memang aku merasa cemas, namun kecemasan itu ku lebih-lebihkan sedikit, seakan aku memiliki hal penting yang harus ku lakukan selain terjebak hujan di cafe. Ku beranikan diri kembali memandang meja di seberangku dan masih mendapati tatapan pria yang tajam, membuatku merasa ciut seketika.
Pria itu terlihat ingin mengucapkan sesuatu, jadi ku putuskan untuk menunggu.
“Coklatnya enak, ya?” pertanyaan itu terlontar dan membuatku mengeryitkan dahi.
Walaupun merasa aneh, ku iyakan pertanyaan itu dan tidak lupa dengan senyuman, seakan berbicara dengan orang asing yang mejanya berada di seberangku merupakan hal yang biasa juga bagiku.
“Mbaknya kuliah?” tanyanya dengan sopan.
Aku membalas dengan anggukan dan senyum.
“Kuliah dimana, Mbak?”
Ku sebutkan kampus tempatku menuntut ilmu.
“Jurusan apa?”
“Psikologi.” Mendengar jawabanku, membuat pria tersebut tertarik. Seperti menemukan orang yang menarik baginya.
“Wew, psikologi. Kalo menurutmu, sebagai mahasiswi psikologi, aku ini orang yang cukup normal atau nggak?” pertanyaan tetaplah pertanyaan, walaupun pertanyaan itu membuat siapapun geli mendengarnya.
“Nggak yakin juga.” jawabku jujur. “Karena menurutku, semua orang itu nggak normal.” Pria itu mengulangi pernyataanku sebagai pertanyaan untuk penegasan. “Iya. Dan orang yang normal itulah yang sebenernya nggak normal.”
“Bukannya normal itu punya standar?” tanya pria itu. Ku rasa ini akan menjadi sebuah diskusi yang menarik.
“Punya, tapi untuk fisik. Kalau untuk psikis sih aku nggak begitu yakin, karena setiap manusia pasti punya ketidaknormalan dalam diri mereka.” Entah teori darimana, tapi aku berusaha berbicara dengan meyakinkan.
“Tapi kalau ada kumpulan orang, pastinya mereka membentuk suatu skema tentang orang normal, kan?”
“Bisa jadi. Normal itu nggak punya standar, karena setiap kumpulan orang bakalan punya standar mereka masing-masing. Dan setiap standar akan berbeda dari kelompok satu ke kelompok yang lain.”
Aku menggigit bibir, tidak percaya telah mengungkapkan teoriku pada orang asing di hadapanku, oh maksudku di meja seberangku. Dia terlihat puas, entah karena jawabanku atau lebih karena diriku. Jika karena jawaban, tidak mungkin dia membiarkan topik diskusi tadi selesai dan menggantinya dengan topik lain tentang diriku.
“Daritadi kita ngobrol belum kenalan, nama Mbak siapa?” itulah yang sekiranya diucapkan oleh pria itu, tapi aku tidak begitu mendengar karena suara hujan yang menenggelamkan suaranya yang berat.
“Apa?” refleks aku menunjukkan kesan bahwa suaranya tidak terdengar. Entah itu suatu keuntungan atau malapetaka, pria itu meminta ijin untuk duduk satu meja denganku. Aku tidak bisa menjawab apapun selain mengiyakan karena rasanya aku mulai tertarik dengannya.
Pria itu duduk di kursi yang berhadapan denganku sambil memasang senyum merekah di wajahnya, sedangkan aku menggigit bibir salah tingkah.
Percakapan selanjutnya berlanjut dengan santai. Pria yang mengenalkan dirinya sebagai Rendi ini berusia lebih tua dariku, berbeda sekitar tiga sampai empat tahun. Rendi memiliki keahlian untuk menyetir topik dan memahami jika aku sedang tidak terlalu ingin membahas, seperti topik bahasan tentang politik.
“Tadi aku liat kamu baca Hujan.” ujar Rendi.
“Iya, aku barusan beli tadi. Ternyata berkesinambungan sama cuaca.” aku tersenyum kecut sambil menatap hujan di luar sana yang seakan tidak peduli bahwa ia telah membasahi bumi selama lebih dari satu jam.
“Aku suka hujan, dalam artian yang sebenernya.”
“Hujan?” bagiku yang memiliki kesenangan pada buku, hujan merupakan suatu hal yang tidak terpikirkan untuk disukai. Menarik karena mendapati orang lain yang memilki kesukaan yang tidak lazim seperti Rendi.
Rendi mengangguk, kemudian menerawang ke luar kaca cafe. “Hujan itu nikmat dari Tuhan, mengubur polusi, mencegah kekeringan, menyejukkan udara, dan pemberi inspirasi. Hujan itu kayak mendaur ulang udara di sekitar kita, apalagi hujan yang lebat kayak gini. Before after nya kerasa banget!”
Aku mengangguk paham.
“Hujan juga...” Rendi memalingkan wajah ke arahku. “...dengan baik hati menyetujui persekongkolanku, bikin kamu nggak balik dan akhirnya bisa satu meja sama aku, berdiskusi banyak hal menarik.”
“Itu cuman kebetulan.” aku berusaha mencairkan suasana canggung. Yah, setidaknya rasa canggungku sendiri, karena aku merasa Rendi tidak merasa canggung sama sekali membicarakan ini semua.
“Ya, kebetulan yang nyenengin.” Rendi tersenyum dan kembali menatapku saat aku berusaha mengalihkan perhatian dengan meminum coklat yang sudah hampir habis.
“Kamu tadi baca buku apa?” aku tidak begitu lihai dalam mengganti topik, tapi untuk yang satu ini, aku benar-benar penasaran.
“Ini.” Rendi menunjukkan sampul buku yang tadi tengah dibacanya sebelum menyerahkan padaku agar aku dapat memperhatikan lebih dekat. “Buku ini cukup menarik buat aku, banyak teori-teori sederhana yang fleksibel untuk diterapkan dalam berbagai macam masalah kehidupan. Buku ini juga...Gwen? Kamu ngapain?”
Aku tersadar dari apa yang barusan ku lakukan, yaitu mencium aroma buku di hadapanku. “Salahsatu hal yang aku lakuin untuk menilai sebuah buku.” jawabku dengan bangga.
“Menilai sebuah buku?”
“Iya. Kalau kamu suka hujan, aku lebih suka buku. Selain menikmati isi cerita di dalamnya, aku juga suka menikmati ekstrinsik buku sebagai jaminan isi buku!” jawabku. “Salahsatu ekstrinsik yang aku suka yaitu aroma buku itu sendiri. Menurutku buku-buku yang berwarna kertas gading dengan aroma pohon yang khas, merupakan buku yang bagus dan meyakinkan. Worth it lah kalo dibaca!”
“Kenapa kamu suka buku? Cewek-cewek jaman sekarang mungkin lebih memilih untuk menjadi konsumen fashion atau make up daripada buku, kan?” tany Rendi ingin tahu.
“Kenapa, ya? Ayahku juga suka baca, sih. Kami juga punya semacam perpustakaan di rumah, jadi dari kecil aku udah terbiasa sama buku.” Aku menarik napas sejenak sambil memikirkan alasan yang mana yang harus diungkapkan, karena sebenarnya ia mencintai buku karena beribu alasan. “Aku nyaman sama buku. Buku itu...bikin aku merasa tenang, merasa lebih peka terhadap dunia sekitar, dan membuat aku lebih...hidup. Buku bisa menjadi guru, menjadi kawan, menjadi orang tua, bahkan menjadi tuhan! Aku selalu terpana dan merasa kecil kembali setelah membaca buku, terbawa oleh alur intrinsiknya dan membuatku bergairah.” Aku tersenyum bingung mendengarkan jawabanku sendiri.
“Sebenernya aku juga nggak begitu ngerti kenapa aku bisa menyukai buku, aku pikir bahwa aku memiliki seribu alasan untuk menyukai, tapi di samping itu juga aku nggak punya alasan apapun yang masuk akal untuk diungkapkan! Aneh, bukan?” aku menggelengkan kepala karena merasa aneh dengan perasaan ini. Belum pernah ada yang menanyakan alasanku menyukai buku sebelumnya, jadi aku tidak tahu bagaimana harus menyusun kata-kata yang tepat untuk menjawab.
“Mungkin aku bisa paham. Kurang lebih perasaan itu sama kayak aku menyukai hujan?” aku mengangguk dengan cepat. Ya, mungkin sama. Sama-sama menyukai sesuatu. Suatu hal yang mungkin agak tidak lazim untuk remaja zaman sekarang.
Kami melanjutkan topik dengan memadukan referensi buku yang telah baca sebelumnya. Tidak begitu banyak yang sama, kebanyakan buku yang kami sama-sama baca yaitu buku sastra, sebagian agak liberal. Topik merembet ke arah diskusi tentang pemikiran seseorang yang menganut paham liberal. Lalu berpindah lagi ke topik yang lain, seakan topik yang dibicarakan selanjutnya tidak kalah menarik. Kami membahas banyak hal dan beberapa topik ku dominasi dengan teori-teori yang selama ini ku buat terkait dengan suatu peristiwa. Aku tidak lagi memikirkan bahwa orang di depanku merupakan orang asing, kini telah berganti menjadi seorang individu. Rendi, seorang pria yang menyukai hujan.
“Maaf mengganggu Mas, Mbak,” kami menengadahkan kepala untuk melihat ke asal suara. “cafe kami mau tutup.” Seorang lelaki yang memeluk nampan berusaha menegur tapi tetap menjaga sopan santunnya.
Aku mengecek jam tangan yang menunjukkan pukul setengah sepuluh. Ah, benar. Cafe ini kan bergantung dengan toko buku di sebelah karena cafe ini merupakan fasilitas. Jika toko buku tutup, tentu saja akan disusul dengan cafe di sebelahnya.
Hujan sudah berhenti. Cafe terlihat kosong, bahkan ada beberapa kursi yang telah dinaikkan di atas meja, menandakan cafe ini benar-benar sudah tutup dan hanya tinggal menunggu kami untuk menyudahi percakapan.
“Eh, maaf, Mas!” aku merasa agak malu dan buru-buru membereskan barang-barangku. Rendi sudah bangkit duluan dan terlihat sedang berbicara dengan waiter yang tadi menegur kami.
“Udah?” Rendi membalikkan badan ketika aku hendak menepuk pundaknya.
Aku mengangguk sambil curi-curi memperhatikan penampilan Rendi yang sebelumnya tidak terlalu ku ambil pusing. Kaos abu-abu, kemeja navy blue, celana jins hitam dan sneakers. Penampilannya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia freak pada buku atau bahkan menyukai hujan. Dia terlihat cukup...keren, untuk seorang kutu buku. Aku mengakui pada diri sendiri.
Jalannya tegak dan menjulang tinggi saat kami berjalan berdampingan, agak membuatku sedikit terintimidasi. Apalagi saat menyadari bahwa aku hanya mengenakan pakaian seadanya berupa sky blue jins dan kaos stripes hitam-putih serta sandal jepit berbentuk pisang yang big no jika dikenakan saat bertemu orang seperti Rendi. Percaya diriku menciut dan memilih untuk diam saja selama perjalanan keluar cafe.
“Kamu pulang naik apa?” tanya Rendi sambil mengeluarkan kunci dari saku celana.
“Jalan kaki. Rumahku cuman deket sini, kok!”
Rendi mengerutkan kening. “Aku anter, ya? Nggak baik kalo cewek pulang malem-malem sendirian, jalan kaki pula!”
Setelah sedikit paksaan dan agak jual mahal, akhirnya Rendi mengantarkanku pulang ke rumah. Kami diam seribu bahasa di dalam perjalanan. Aku karena merasa kembali canggung, Rendi karena...entah kenapa.
Bagaimana kami bisa bertemu kembali? Apakah setelah ini ada sesuatu di antara kami? Apakah dia akan mengontakku? Tapi bagaimana caranya? Kami bahkan tidak bertukar kontak atau apapun itu. Aku bingung. Di satu sisi aku merasa terintimidasi dengan gaya Rendi, tapi di sisi lainnya aku juga ingin untuk terus berbincang dengannya dan mungkin mengetahui lebih banyak tentang dirinya.
“Itu rumahku!” aku menunjuk sebuah rumah dengan pagar silver di depan.
Aku turun dan berbalik menghadap Rendi yang kembali menatapku dengan intens, membuatku kembali salah tingkah dan hanya bisa tersenyum tipis. Senyuman penuh arti.
“Aku balik dulu, ya Gwen.” Aku menelan ludah mendengarnya. Tidak adakah rasa ingin kembali berbincang denganku di lain kesempatan, Rendi?
“Iya. Hati-hati.” Berusaha tetap terlihat santai.
Rendi mengerutkan kening seakan tidak puas dengan jawabanku. “Udah? Gitu aja?”
“Hah?”
“Nggak mau ngasih nomer atau apa, gitu?” sindir Rendi, membuatku salah tingkah, untuk ke sekian kalinya.
“Umm...”
“Kamu ada Facebook, kan?”
“Ada.” Aku menjawab dengan mengerutkan dahi bingung.
“Namamu siapa?”
Aku menyebutkan nama lengkapku, yang juga menjadi nama di akun Facebook. Rendi mengangguk dan berusaha melafalkan dengan benar.
“Oh iya. Kamu harus jaga baik-baik buku yang baru tadi kamu beli. Buku itu semacam kolaborasi antara hal-hal yang kita cintai. Buku yang mengisahkan tentang hujan. Buku kita.” Ujarnya dengan tersenyum lebar. Jantungku berdegup kencang mendengarnya, responku hanya seperti orang tolol yang gagu dan tidak sanggup berkata.
“Aku balik dulu. Good night,” Rendi menundukkan kepalanya dengan sopan. “and I will find you soon on Facebook.” Ia melajukan motornya dan menghilang di kejauhan, tertelan jarak.
Tinggallah aku sendiri di sini, di depan rumahku, tersenyum pada bintang di langit dan mengharapkan hari esok yang lebih indah. Bersama Rendi.
-oo-


No comments:

Post a Comment