Author: FEERDAHH
Tidak ada yang bisa
memisahkan kedekatan antara diriku dengan buku. Buku selalu membuatku
penasaran, membuatku berada di dunia yang lain, membuatku merasakan sensasi
yang berbeda di tiap lembarnya, dan pastinya membawaku untuk beranjak dari
dunia nyata barang sejenak. Kadang aku berpikir, tidaklah perlu aku
kemana-mana, hanya duduk di posisi ternyaman dan mencurahkan seluruh perhatian
pada buku di tanganku. Konyol memang.
Hal yang paling ku senangi
kedua, yang pastinya tidak jauh dari buku, yaitu saat membeli buku itu sendiri.
Saat dimana aku memilah dan memilih satu di antara yang lain, mencoba menjadi
seorang peramal untuk bisa menentukan buku mana yang sebaiknya ku beli. Terus
terang saja, agak merepotkan memang saat harus memilih satu buku saja—aku hanya
diberi kesempatan membeli satu buku selama sebulan---dari sekian banyak buku
yang menggiurkan. Harus benar-benar cermat dan lapang dada untuk melepaskan
buku-buku yang tidak jadi ku beli.
Ya, seperti itulah yang
sekarang sedang ku alami. Berada di antara buku-buku yang seperti meminta untuk
dibeli. Aku harus bisa menjadi cukup bijaksana untuk menolak mereka, dengan
menemukan satu buku yang sekiranya merebut perhatianku.
Aku menari di antara
rak-rak, mencomot sembarang buku, membaca sinopsis, berpikir sejenak, lalu
mengembalikan buku itu kembali ke rak. Perasaan senang dikelilingi buku ini
membuatku sangat bergairah!
Sambil mendendangkan sebuah
instrumen lagu klasik, aku kembali mencari-cari. Mengamati rak demi rak,
menelusuri sinopsis, dan melonjak-lonjak seperti anak umur lima tahun jika
berada di toko mainan.
Lonjak. Lonjak. Lonjak.
Kemudian bergeming.
Aku menemukannya. Menemukan
buku yang menarik perhatianku. Buku dengan sampul biru berkabut yang tertulis
singkat, jelas, dan penuh makna: Hujan. Ku ambil buku itu dengan khidmat,
layaknya menemukan harta karun terpendam. Perasaan membuncah yang ku rasakan
membuatku yakin bahwa buku ini cukup menarik dan bisa menambah wawasanku
tentang musim, mungkin dengan buku ini aku bisa mencintai hujan, walaupun pastinya
tidak mungkin hujan menggantikan kesenanganku dengan buku.
Sebelum menuju kasir, ku
sempatkan untuk menundukkan kepala ke arah rak-rak buku yang berjejer, seakan
meminta maaf dan berpamitan. “Buku merupakan guru kita semua. Tidak ada
salahnya kalau kita juga harus menghormati buku, bukan?” begitulah jawabanku
ketika ada teman yang menanyakan kebiasaan aneh tersebut. Tentu saja mereka
tidak bisa menerima alasanku, mereka tidak mencintai buku sebagaimana yang aku
rasakan. Tentu saja mereka sedikit mencemooh perbuatanku, tidak heran, mereka
tidak tumbuh dan berkembang bersama buku, tidak seperti aku.
Kasir toko buku menyambutku
ramah, entah karena mood nya sedang
baik atau memang begitulah kepribadiannya.
“Hujan. Mbak terinspirasi
dari hujan di luar, ya?” ujar lelaki di kasir tersebut sambil mengendikkan
dagunya ke arah hujan di luar sana. Ku berikan respon kerjapan mata. Aku tidak
menyangka bahwa keadaan hujan di luar sana sudah menderas, yang menandakan
bahwa hujan itu telah lama tiba. Bukan masalah jika memang aku harus menerobos
seorang diri, tapi buku baruku tidak akan ku ijinkan untuk ikut serta.
Setelah selesai dengan
urusan pembayaran dan sampul menyampul, aku melangkah perlahan melewati pintu.
Hujan ini berkabut dan berangin, yang bahkan membuatku sulit melihat jalanan
barang lima meter dari tempatku berdiri sekarang.
Tidak, tidak. Mustahil jika
aku nekat berlari pulang.
Mataku berusaha mencari
jalan keluar dengan memandang sekeliling, berusaha memfokuskan hal-hal di
sekitar, yang kemudian berhenti di sebuah cafe. Ya, toko buku ini memiliki cafe
yang terletak persis di samping. Hanya butuh satu lompatan kecil untuk bisa
masuk di pelataran cafe itu dan tidak akan ada air yang bisa mengenai tubuhmu,
kecuali tentu saja jika atap cafe itu bocor atau terjadi banjir.
Segera ku langkahkan kaki
ini memasuki cafe dan mendapati orang-orang di dalamnya melakukan berbagai
macam kesibukan, antara lain seperti main laptop, bercanda ria dengan
teman-teman, berpeluk-pelukan atas dasar status pacaran, dan membaca buku. Kegiatan
terakhir sangat jarang, apalagi yang memang duduk dan tepekur dengan buku.
Mungkin bisa dibilang bahwa aku orang kedua yang melakukan hal itu, atau
setidaknya akan melakukan itu.
Orang pertama yang lebih
dulu fokus dengan bacaannya merupakan seorang pria yang duduk di meja
seberangku. Orang itu duduk menghadap ke arahku, seorang diri, dengan cangkir
kopi di hadapannya. Penuh rasa penasaran, aku duduk menghadap ke arahnya agar
bisa melihat buku yang sedang dibaca.
Suatu buku tentang filsafat.
Aku tidak begitu paham. Buku yang agaknya terasa asing bagiku, yang lebih
menyukai buku-buku penuh pengharapan, kehidupan, dan masa depan. Bukannya aku
tidak tertarik dengan buku semacam itu, tapi buku-buku itu memberikan sinopsis
menyedihkan, membuatku ikut sedih membacanya. Entahlah, mungkin pernyataanku
barusan merupakan bagian dari stereotype.
Aku mengangkat bahu, tidak
ambil pusing dengan stereotype. Yang
sangat ingin ku lakukan sekarang hanyalah membaca buku baruku. Ku buka lembar
pertama buku itu, sekilas ku kagumi ekstrinsik buku dan mulai membaca prolog.
Lembar demi lembar ku
lewati, dengan berbagai macam ekspresi yang ku tunjukkan saat larut ke kisah di
dalamnya. Jemariku siap untuk membuka bab ketiga, ketika kemudian terantuk oleh
sesuatu yang hangat di mejaku. Fokusku teralihkan dan mendapati bahwa minuman
pesananku telah tiba, entah kapan. Ku lirik jam yang menunjukkan telah lewat 20
menit aku membaca, tapi keadaan hujan di luar cafe masih sama seperti sebelum aku
memasuki cafe ini.
Aku menghembuskan napas lalu
menutup buku. Mengalihkan fokus pada hot
chocolate di hadapanku yang sekiranya bisa menghangatkan tubuh yang
ternyata mulai menggigil. Coklatnya kental dan manisnya pas, tidak terlalu
manis yang menyebabkan pahit coklatnya masih melekat dengan khas. Menyecap rasa
itu membuat bibirku otomatis tersenyum dan menghirup aroma coklat dengan lebih
dalam.
Ku tatap seluruh isi ruangan
perlahan sambil menikmati sensasi hangat yang menjalar di sekujur tubuh karena
minuman ini. Aku kembali menghirup coklatku lalu mengalihkan pandangan menuju
meja di hadapanku. Pemandangan yang ku temui cukup membuatku sedikit tersedak.
Pria di meja seberang menatapku dengan intens, dengan senyum tipis menghiasi
wajahnya. Senyum itu semakin lebar saat mendapati bahwa aku memandangnya dengan
penuh tanda tanya.
“Kopi?” tanya pria itu
dengan tampang tidak berdosa. Seakan-akan berbicara dengan orang asing
merupakan hal biasa baginya.
“Coklat.” aku menjawabnya
dengan senyum setengah yang masih diliputi perasaan bingung. Bagaimana tidak?
Pria itu mengajaknya berbicara seolah-olah jarak mereka cukup dekat untuk
berbincang, bukannya dibatasi oleh meja. Aku sangat canggung, tidak
mengharapkan kejadian ini terjadi di dunia nyata—kalau di buku-buku yang
mengisahkan kehidupan di luar negeri sih sering—terjadi padaku. Berpura-pura
mengecek ponsel merupakan akibat dari kecanggunganku. Aku tidak tahu harus
bagaimana, ku putuskan untuk membalas pesan-pesan pribadi dan pesan di grup
sosial media, menjadikan kegiatan itu menjadi hal yang cukup penting hingga
membutuhkan fokus yang berlebihan dariku.
Aku menengadahkan kepala
untuk mengecek hujan, berpura-pura untuk merasa cemas karena hujan tidak
kunjung reda. Yah, sebenarnya tidak terlalu berpura-pura karena memang aku
merasa cemas, namun kecemasan itu ku lebih-lebihkan sedikit, seakan aku
memiliki hal penting yang harus ku lakukan selain terjebak hujan di cafe. Ku
beranikan diri kembali memandang meja di seberangku dan masih mendapati tatapan
pria yang tajam, membuatku merasa ciut seketika.
Pria itu terlihat ingin
mengucapkan sesuatu, jadi ku putuskan untuk menunggu.
“Coklatnya enak, ya?”
pertanyaan itu terlontar dan membuatku mengeryitkan dahi.
Walaupun merasa aneh, ku
iyakan pertanyaan itu dan tidak lupa dengan senyuman, seakan berbicara dengan
orang asing yang mejanya berada di seberangku merupakan hal yang biasa juga
bagiku.
“Mbaknya kuliah?” tanyanya
dengan sopan.
Aku membalas dengan anggukan
dan senyum.
“Kuliah dimana, Mbak?”
Ku sebutkan kampus tempatku
menuntut ilmu.
“Jurusan apa?”
“Psikologi.” Mendengar
jawabanku, membuat pria tersebut tertarik. Seperti menemukan orang yang menarik
baginya.
“Wew, psikologi. Kalo
menurutmu, sebagai mahasiswi psikologi, aku ini orang yang cukup normal atau
nggak?” pertanyaan tetaplah pertanyaan, walaupun pertanyaan itu membuat
siapapun geli mendengarnya.
“Nggak yakin juga.” jawabku
jujur. “Karena menurutku, semua orang itu nggak normal.” Pria itu mengulangi
pernyataanku sebagai pertanyaan untuk penegasan. “Iya. Dan orang yang normal
itulah yang sebenernya nggak normal.”
“Bukannya normal itu punya
standar?” tanya pria itu. Ku rasa ini akan menjadi sebuah diskusi yang menarik.
“Punya, tapi untuk fisik.
Kalau untuk psikis sih aku nggak begitu yakin, karena setiap manusia pasti
punya ketidaknormalan dalam diri mereka.” Entah teori darimana, tapi aku
berusaha berbicara dengan meyakinkan.
“Tapi kalau ada kumpulan
orang, pastinya mereka membentuk suatu skema tentang orang normal, kan?”
“Bisa jadi. Normal itu nggak
punya standar, karena setiap kumpulan orang bakalan punya standar mereka
masing-masing. Dan setiap standar akan berbeda dari kelompok satu ke kelompok
yang lain.”
Aku menggigit bibir, tidak
percaya telah mengungkapkan teoriku pada orang asing di hadapanku, oh maksudku
di meja seberangku. Dia terlihat puas, entah karena jawabanku atau lebih karena
diriku. Jika karena jawaban, tidak mungkin dia membiarkan topik diskusi tadi
selesai dan menggantinya dengan topik lain tentang diriku.
“Daritadi kita ngobrol belum
kenalan, nama Mbak siapa?” itulah yang sekiranya diucapkan oleh pria itu, tapi
aku tidak begitu mendengar karena suara hujan yang menenggelamkan suaranya yang
berat.
“Apa?” refleks aku
menunjukkan kesan bahwa suaranya tidak terdengar. Entah itu suatu keuntungan
atau malapetaka, pria itu meminta ijin untuk duduk satu meja denganku. Aku
tidak bisa menjawab apapun selain mengiyakan karena rasanya aku mulai tertarik
dengannya.
Pria itu duduk di kursi yang
berhadapan denganku sambil memasang senyum merekah di wajahnya, sedangkan aku
menggigit bibir salah tingkah.
Percakapan selanjutnya
berlanjut dengan santai. Pria yang mengenalkan dirinya sebagai Rendi ini
berusia lebih tua dariku, berbeda sekitar tiga sampai empat tahun. Rendi
memiliki keahlian untuk menyetir topik dan memahami jika aku sedang tidak
terlalu ingin membahas, seperti topik bahasan tentang politik.
“Tadi aku liat kamu baca
Hujan.” ujar Rendi.
“Iya, aku barusan beli tadi.
Ternyata berkesinambungan sama cuaca.” aku tersenyum kecut sambil menatap hujan
di luar sana yang seakan tidak peduli bahwa ia telah membasahi bumi selama
lebih dari satu jam.
“Aku suka hujan, dalam
artian yang sebenernya.”
“Hujan?” bagiku yang
memiliki kesenangan pada buku, hujan merupakan suatu hal yang tidak terpikirkan
untuk disukai. Menarik karena mendapati orang lain yang memilki kesukaan yang
tidak lazim seperti Rendi.
Rendi mengangguk, kemudian
menerawang ke luar kaca cafe. “Hujan itu nikmat dari Tuhan, mengubur polusi,
mencegah kekeringan, menyejukkan udara, dan pemberi inspirasi. Hujan itu kayak
mendaur ulang udara di sekitar kita, apalagi hujan yang lebat kayak gini. Before after nya kerasa banget!”
Aku mengangguk paham.
“Hujan juga...” Rendi
memalingkan wajah ke arahku. “...dengan baik hati menyetujui persekongkolanku,
bikin kamu nggak balik dan akhirnya bisa satu meja sama aku, berdiskusi banyak
hal menarik.”
“Itu cuman kebetulan.” aku
berusaha mencairkan suasana canggung. Yah, setidaknya rasa canggungku sendiri,
karena aku merasa Rendi tidak merasa canggung sama sekali membicarakan ini
semua.
“Ya, kebetulan yang
nyenengin.” Rendi tersenyum dan kembali menatapku saat aku berusaha mengalihkan
perhatian dengan meminum coklat yang sudah hampir habis.
“Kamu tadi baca buku apa?”
aku tidak begitu lihai dalam mengganti topik, tapi untuk yang satu ini, aku
benar-benar penasaran.
“Ini.” Rendi menunjukkan
sampul buku yang tadi tengah dibacanya sebelum menyerahkan padaku agar aku
dapat memperhatikan lebih dekat. “Buku ini cukup menarik buat aku, banyak
teori-teori sederhana yang fleksibel untuk diterapkan dalam berbagai macam
masalah kehidupan. Buku ini juga...Gwen? Kamu ngapain?”
Aku tersadar dari apa yang
barusan ku lakukan, yaitu mencium aroma buku di hadapanku. “Salahsatu hal yang
aku lakuin untuk menilai sebuah buku.” jawabku dengan bangga.
“Menilai sebuah buku?”
“Iya. Kalau kamu suka hujan,
aku lebih suka buku. Selain menikmati isi cerita di dalamnya, aku juga suka
menikmati ekstrinsik buku sebagai jaminan isi buku!” jawabku. “Salahsatu
ekstrinsik yang aku suka yaitu aroma buku itu sendiri. Menurutku buku-buku yang
berwarna kertas gading dengan aroma pohon yang khas, merupakan buku yang bagus
dan meyakinkan. Worth it lah kalo
dibaca!”
“Kenapa kamu suka buku?
Cewek-cewek jaman sekarang mungkin lebih memilih untuk menjadi konsumen fashion atau make up daripada buku, kan?” tany Rendi ingin tahu.
“Kenapa, ya? Ayahku juga
suka baca, sih. Kami juga punya semacam perpustakaan di rumah, jadi dari kecil
aku udah terbiasa sama buku.” Aku menarik napas sejenak sambil memikirkan
alasan yang mana yang harus diungkapkan, karena sebenarnya ia mencintai buku
karena beribu alasan. “Aku nyaman sama buku. Buku itu...bikin aku merasa
tenang, merasa lebih peka terhadap dunia sekitar, dan membuat aku
lebih...hidup. Buku bisa menjadi guru, menjadi kawan, menjadi orang tua, bahkan
menjadi tuhan! Aku selalu terpana dan merasa kecil kembali setelah membaca
buku, terbawa oleh alur intrinsiknya dan membuatku bergairah.” Aku tersenyum
bingung mendengarkan jawabanku sendiri.
“Sebenernya aku juga nggak
begitu ngerti kenapa aku bisa menyukai buku, aku pikir bahwa aku memiliki
seribu alasan untuk menyukai, tapi di samping itu juga aku nggak punya alasan
apapun yang masuk akal untuk diungkapkan! Aneh, bukan?” aku menggelengkan
kepala karena merasa aneh dengan perasaan ini. Belum pernah ada yang menanyakan
alasanku menyukai buku sebelumnya, jadi aku tidak tahu bagaimana harus menyusun
kata-kata yang tepat untuk menjawab.
“Mungkin aku bisa paham.
Kurang lebih perasaan itu sama kayak aku menyukai hujan?” aku mengangguk dengan
cepat. Ya, mungkin sama. Sama-sama menyukai sesuatu. Suatu hal yang mungkin
agak tidak lazim untuk remaja zaman sekarang.
Kami melanjutkan topik
dengan memadukan referensi buku yang telah baca sebelumnya. Tidak begitu banyak
yang sama, kebanyakan buku yang kami sama-sama baca yaitu buku sastra, sebagian
agak liberal. Topik merembet ke arah diskusi tentang pemikiran seseorang yang
menganut paham liberal. Lalu berpindah lagi ke topik yang lain, seakan topik
yang dibicarakan selanjutnya tidak kalah menarik. Kami membahas banyak hal dan
beberapa topik ku dominasi dengan teori-teori yang selama ini ku buat terkait
dengan suatu peristiwa. Aku tidak lagi memikirkan bahwa orang di depanku
merupakan orang asing, kini telah berganti menjadi seorang individu. Rendi,
seorang pria yang menyukai hujan.
“Maaf mengganggu Mas, Mbak,”
kami menengadahkan kepala untuk melihat ke asal suara. “cafe kami mau tutup.” Seorang
lelaki yang memeluk nampan berusaha menegur tapi tetap menjaga sopan santunnya.
Aku mengecek jam tangan yang
menunjukkan pukul setengah sepuluh. Ah, benar. Cafe ini kan bergantung dengan
toko buku di sebelah karena cafe ini merupakan fasilitas. Jika toko buku tutup,
tentu saja akan disusul dengan cafe di sebelahnya.
Hujan sudah berhenti. Cafe
terlihat kosong, bahkan ada beberapa kursi yang telah dinaikkan di atas meja,
menandakan cafe ini benar-benar sudah tutup dan hanya tinggal menunggu kami
untuk menyudahi percakapan.
“Eh, maaf, Mas!” aku merasa
agak malu dan buru-buru membereskan barang-barangku. Rendi sudah bangkit duluan
dan terlihat sedang berbicara dengan waiter
yang tadi menegur kami.
“Udah?” Rendi membalikkan
badan ketika aku hendak menepuk pundaknya.
Aku mengangguk sambil
curi-curi memperhatikan penampilan Rendi yang sebelumnya tidak terlalu ku ambil
pusing. Kaos abu-abu, kemeja navy blue,
celana jins hitam dan sneakers.
Penampilannya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia freak pada buku atau bahkan menyukai hujan. Dia terlihat
cukup...keren, untuk seorang kutu buku. Aku mengakui pada diri sendiri.
Jalannya tegak dan menjulang
tinggi saat kami berjalan berdampingan, agak membuatku sedikit terintimidasi. Apalagi
saat menyadari bahwa aku hanya mengenakan pakaian seadanya berupa sky blue jins dan kaos stripes hitam-putih serta sandal jepit
berbentuk pisang yang big no jika
dikenakan saat bertemu orang seperti Rendi. Percaya diriku menciut dan memilih
untuk diam saja selama perjalanan keluar cafe.
“Kamu pulang naik apa?”
tanya Rendi sambil mengeluarkan kunci dari saku celana.
“Jalan kaki. Rumahku cuman
deket sini, kok!”
Rendi mengerutkan kening.
“Aku anter, ya? Nggak baik kalo cewek pulang malem-malem sendirian, jalan kaki
pula!”
Setelah sedikit paksaan dan
agak jual mahal, akhirnya Rendi mengantarkanku pulang ke rumah. Kami diam
seribu bahasa di dalam perjalanan. Aku karena merasa kembali canggung, Rendi
karena...entah kenapa.
Bagaimana kami bisa bertemu
kembali? Apakah setelah ini ada sesuatu di antara kami? Apakah dia akan
mengontakku? Tapi bagaimana caranya? Kami bahkan tidak bertukar kontak atau
apapun itu. Aku bingung. Di satu sisi aku merasa terintimidasi dengan gaya
Rendi, tapi di sisi lainnya aku juga ingin untuk terus berbincang dengannya dan
mungkin mengetahui lebih banyak tentang dirinya.
“Itu rumahku!” aku menunjuk
sebuah rumah dengan pagar silver di depan.
Aku turun dan berbalik
menghadap Rendi yang kembali menatapku dengan intens, membuatku kembali salah
tingkah dan hanya bisa tersenyum tipis. Senyuman penuh arti.
“Aku balik dulu, ya Gwen.”
Aku menelan ludah mendengarnya. Tidak adakah rasa ingin kembali berbincang denganku
di lain kesempatan, Rendi?
“Iya. Hati-hati.” Berusaha
tetap terlihat santai.
Rendi mengerutkan kening
seakan tidak puas dengan jawabanku. “Udah? Gitu aja?”
“Hah?”
“Nggak mau ngasih nomer atau
apa, gitu?” sindir Rendi, membuatku salah tingkah, untuk ke sekian kalinya.
“Umm...”
“Kamu ada Facebook, kan?”
“Ada.” Aku menjawab dengan
mengerutkan dahi bingung.
“Namamu siapa?”
Aku menyebutkan nama
lengkapku, yang juga menjadi nama di akun Facebook. Rendi mengangguk dan
berusaha melafalkan dengan benar.
“Oh iya. Kamu harus jaga
baik-baik buku yang baru tadi kamu beli. Buku itu semacam kolaborasi antara
hal-hal yang kita cintai. Buku yang mengisahkan tentang hujan. Buku kita.” Ujarnya dengan tersenyum lebar.
Jantungku berdegup kencang mendengarnya, responku hanya seperti orang tolol
yang gagu dan tidak sanggup berkata.
“Aku balik dulu. Good night,” Rendi menundukkan kepalanya
dengan sopan. “and I will find you soon
on Facebook.” Ia melajukan motornya dan menghilang di kejauhan, tertelan
jarak.
Tinggallah aku sendiri di
sini, di depan rumahku, tersenyum pada bintang di langit dan mengharapkan hari
esok yang lebih indah. Bersama Rendi.
-oo-
No comments:
Post a Comment